Dina Fenisha Azmi
3PA02
19510120
Psikoterapi
Teori dan terapi Viktor Frankl lahir dari
pengalamannya selama menjadi tawanan di kamp konsentrasi Nazi. Di sana, ia
menyaksikan banyak orang yang mampu bertahan hidup atau mati di tengah siksaan.
Hingga akhirnya dia menganggap bahwa mereka yang tetap berharap bisa bersatu
dengan orang-orang yang dicintai, punya urusan yang harus diselesaikan di masa
depan, punya keyakinan kuat, memiliki kesempatan lebih banyak daripada yang
kehilangan harapan.
Frankl menamakan terapinya dengan logoterapi, dari kata Yunani, “logos”, yang berarti pelajaran, kata, ruh, Tuhan atau makna. Frankl menekankan pada makna sebagai pegertian logos. Bila Freud dan Addler menekankan pada kehendak pada kesenangan sebagai sumber dorongan. Maka, Frankl menekankan kehendak untuk makna sebagai sumber utama motivasi.
Selain itu, Frankl juga menggunakan noös yang
berarti jiwa/pikiran. Bila psikoanalisis terfokus pada psikodinamik, yakni
manusia dianggap berusaha mengatasi dan mengurangi ketegangan psikologis.
Namun, Frankl menyatakan seharusnya lebih mementingkan noödinamik, yaitu
ketegangan menjadi unsur penting bagi keseimbangan dan kesehatan jiwa.
Bagaimana pun, orang menginginkan adanya ketegangan ketika mereka berusaha
mencapai tujuan.
Kerangka berpikir teori kepribadian model logoterapi dan dinamika kepribadiannya dapat digambarkan sebagai berikut.
Pertama, setiap orang selalu mendambakan
kebahagiaan dalam hidupnya. Dalam pandangan logoterapi, kebahagiaan itu tidak
datang begitu saja, tetapi merupakan akibat sampingan dari keberhasilan
seseorang memenuhi keinginannya untuk hidup bermakna (the will to meaning).
Mereka yang berhasil memenuhinya akan mengalami hidup yang bermakna (meaningful
life) dan ganjaran (reward) dari hidup yang bermakna adalah
kebahagiaan (happiness).
Kedua, jika mereka yang tak berhasil memenuhi motivasi ini akan mengalami kekecewaan dan kehampaan hidup serta merasakan hidupnya tidak bermakna (meaningless). Kondisi ini apabila tidak teratasi dapat mengakibatkan gangguan neurosis (noogenik neurosis), mengembangkan karakter totaliter (totalitarianism) dan konformis (conformism).
Ketiga, Frankl menentang pendirian dalam psikologi dan psikoterapi bahwa manusia ditentukan oleh kondisi biologis, konflik-konflik masa kanak-kanak, atau kekuatan lain dari luar. Ia berpendapat bahwa kebebasan manusia merupakan kebebasan yang berada dalam batas-batas tertentu. Manusia dianggap sebagai makhluk yang memiliki berbagai potensi luar biasa, tetapi sekaligus memiliki keterbatasan dalam aspek ragawi, aspek kejiwaan, aspek sosial budaya dan aspek kerohanian.
Keempat, kebebasan manusia bukan merupakan kebebasan dari (freedom from) bawaan biologis, kondisi psikososial dan kesejarahannya, melainkan kebebasan untuk menentukan sikap (freedom to take a stand) secara sadar dan menerima tanggung jawab terhadap kondisi-kondisi tersebut, baik kondisi lingkungan maupun kondisi diri sendiri. Dengan demikian, kebebasan yang dimaksud Frankl bukanlah lari dari persoalan yang sebenarnya harus dihadapi.
Kelima, dalam berperilaku, manusia berusaha mengarahkan dirinya sendiri pada sesuatu yang ingin dicapainya, yaitu makna. Keinginan akan makna inilah yang mendorong setiap manusia untuk melakukan berbagai kegiatan agar hidupnya dirasakan berarti dan berharga. Namun, Frankl tidak sependapat dengan prinsip determinisme dan berkeyakinan bahwa manusia dalam berperilaku terdorong mengurangi ketegangan agar memperoleh keseimbangan dan mengarahkan dirinya sendiri menuju tujuan tertentu yang layak bagi dirinya.
sumber
http://www.psikologizone.com/victor-emil-frankl-dan-logoterapi-2/065112054
Tidak ada komentar:
Posting Komentar