Senin, 15 April 2013

BEHAVIOR THERAPY



Dina Fenisha Azmi
19510120
3PA02
Psikoterapi

Terapi perilaku (behavior therapy) dan pengubahan perilaku (behavior modification) atau pendekatan perilaku dalam konseling dan psikoterapi, adalah salah satu dari beberapa “revolusi” dalam dunia pengetahuan psikologi, khususnya konseling dan psikoterapi (Gunarsa, 1992:191). Revolusi-revolusi yang lain adalah psikoanalisis dan pendekatan berpusat pada klien. Pendekatan perilaku dianggap sebagai salah satu wujud revolusi dalam konseling dan psikoterapi karena ia mengembangkan teori dan praktik terapi yang khas, yaitu memandang tingkah laku manusia dipandang sebagai respon-respon terhadap stimuli --- tingkah laku merupakan hasil belajar, bukan determinan sebagaimana pandangan psikoanalisis---, eksternal dan internal, dan karena itu tujuan konseling adalah sedapat mungkin untuk memodifikasi koneksi-koneksi dan metode stimulus-respon (S-R), jadi analog dengan psikologi eksperimental.

Pendekatan perilaku yang bersumber pada aliran Behaviorisme pada mulanya tumbuh subur di Amerika dengan tokohnya yang terkenal ekstrim, yaitu John Broadus Watson. Pendekatan ini menitikberatkan peranan lingkungan, peranan dunia luar sebagai faktor penting di mana seseorang dipengaruhi, seseorang belajar. Aliran ini memandang perkembangan seseorang sebagai “seorang tumbuh menjadi seperti apa yang terbentuk oleh lingkungan”. Peranan lingkungan dijelaskan oleh Watson sebagai patently rejected the emphasis on heredity in explaining human characteristics and instead placed it all on environment. He even boasted that, if he were given ten healthy infants and allowed complete control over their environments, he could make any on of them a baker, banker, thief, carpenter, you name it (Reilly & Lewis 1983:98).

Dengan demikian pendekatan ini memandang manusia sebagai organisme yang neutral-passive, lingkungan dan perlakuanlah yang dapat merubah tingkah laku seseorang. Ulmann dan Krasner (1965) menunjukkan banyak bukti tentang keefektifan pendekatan perilaku dengan menghimpun berbagai tulisan para ahli pendekatan perilaku dalam buku Case Studies in Behavior Modification.
                            
Sejarah pendekatan perilaku dalam konseling atau konseling behavioral (Rosyidan, 1994:4-6) bermula pada Ivan Sechenov (1829-1905), bapak fisiologi Rusia. Struktur hipotetiknya dikembangkan sekitar 1863, yang memandang fungsi-fungsi otak sebagai pancaran refleks, yang mempunyai tiga komponen: input sensorik, proses, dan “efferent-outflow”. Menurut Sechenov, semua tingkah laku terdiri atas respon-respon kepada stimulasi-stimulasi, dengan interaksi-interaksi dari rangsangan dan hambatan yang beroperasi pada bagian sentral dari pancaran refleks. Dengan menggunakan model ini, Pavlov (1849-1936) memulai serangkaian eksperimen klasik di mana respon-respon air liur pada anjing dirangsang dengan berbagai stimuli. Pada eksperimen ini ia mendemonstrasikan banyak fenomena yang kemudian diperluas kepada semua tipe belajar. Penterjemahan karya Pavlov ke dalam bahasa Inggris tahun 1927 mendorong pengambilalihan pendekatan behavioristik dalam mempelajari psikologi di Amerika Serikat, dan kemudian dikenal sebagai kondisional klasik (classical conditioning). Implikasi teori Pavlov dalam konseling adalah perilaku konseli dapat dilatih dengan menggunakan koneksi antara stimulus dengan respon, perilaku yang tidak dikehendaki dilatih menjadi perilaku yang dikehendaki.

Hasil-hasil penelitian dan tulisan E.L. Thorndike (Gunarsa, 1992:192) mengenai proses belajar dengan hadiah yang menghasilkan hukum efek (law of effect) pada tahun 1898, 1911, 1913 juga memberikan sumbangan penting dalam pendekatan perilaku. Teori Thorndike tersebut selanjutnya dikenal sebagai kondisioning aktif (operant conditioning) dan perilaku instrumental. Implikasinya dalam konseling adalah dengan melakukan hukum efek, perilaku konseli yang tidak dikehendaki berubah menjadi perilaku yang dikehendaki.

Studi yang paling penting dalam psikologi dilakukan oleh Watson dan Rayner (1920), yang menggunakan seorang anak sebagai subjek untuk menunjukkan bahwa rasa takut itu dipelajari (conditioned). Penurunan dari saran-saran Watson dan Rayner menjadi teknik-teknik inti dalam konseling behavioral.

Penggunaan istilah behavioral counseling pertama kali dikemukakan Krumboltz dari Stanford University (1964). Pada dekade 50-an konseling dialami sebagai filsafat hidup yang menekankan pada segi hubungan dan setting wawancara. Konseling kurang memperhatikan metodologi ilmiah seperti observasi dan eksperimen. Hubungan konselor dan klien dipandang sebagai metode konseling atau hatinya konseling. Terapi behavioral telah menemukan perubahan-perubahan yang penting dan telah banyak berkembang. Terapi ini tidak lagi secara eksklusif berpijak pada teori belajar, dan juga bukan perangkat teknik yang didefinisikan secara sempit. Terapi behavioral kontemporer mencakup berbagai konseptualisasi, metode penelitian, dan prosedur penanganan untuk menjelaskan dan mengubah perilaku, dan juga perdebatan yang cukup seru tentang bukti adanya hasil yang diinginkan (Kadzin & Wilson, 1978 dalam Corey, 1995:413). Lazarus dianggap sebagai salah satu perintis dari terapi behavioral klinis. Oleh karena itu ia telah memberikan sumbangan dalam hal memperluas dasar konseptualnya dan memperkenalkan teknik klinis yang inovatif.

Konsep-konsep Dasar Pendekatan Perilaku
Rosyidan (1994:-6-7) dan Natawidjaja (1987:192-196) nampaknya sepakat tentang konsep-konsep pokok atau konsep dasar dalam pendekatan perilaku itu, yaitu pemusatan pada perilaku yang tampak dan khusus, tujuan terapetik yang tepat, perumusan rancangan kegiatan dan penerapan metoda-metoda yang berorientasi tindakan, penilaian objektif terhadap hasil dan balikan.

Keempat konsep dasar dalam pendekatan perilaku, dipaparkan dalam uraian berikut ini.
·         Pemusatan pada Perilaku yang Tampak dan Khusus
Pendekatan perilaku tidak didasari oleh teori tertentu yang khusus. Pendekatan ini merupakan pendekatan induktif yang menerapkan metoda  eksperimen di dalam proses terapetik. Pendeknya dapat dikatakan bahwa pendekatan ini merupakan model konseling yang mempunyai banyak teknik tetapi memiliki hanya sedikit konsep. Dalam hal ini Wolpe (1969) mengartikan terapi perilaku itu sebagai penggunaan prinsip-prinsip belajar yang disusun berdasarkan eksperimen untuk tujuan mengubah perilaku yang tidak sesuai.
Sesuai dengan semangat metode eksperimental, maka hal utama yang perlu diperhatikan dan dilakukan konselor dan klien dalam konseling perilaku itu adalah menyaring dan memisahkan perilaku yang bermasalah itu dan membataskan secara khusus perubahan apa yang dikehendaki. Dalam hal ini konselor konseling kelompok meminta para klien untuk mengkhususkan perilaku apa yang benar-benar ingin diubahnya, dan perilaku baru yang ingin diperolehnya. Deskripsi umum yang samar-samar tentang perilaku itu tidak bermanfaat untuk dijadikan titik pangkal dari konseling, dan oleh karena itu tidak dapat diterima sebagai pembatasan.

Tujuan Terapetik yang tepat
Dalam kebanyakan konseling, tahap-tahap pertama dari kegiatan konseling kelompok diarahkan kepada perumusan pernyataan yang khusus mengenai tujuan pribadi yang ingin dicapai oleh setiap anggota kelompok. Hal ini berkenaan dengan perilaku kongkrit yang bermasalah yang ingin mereka pelajari selama berada dalam kelompok tersebut. Perilaku yang secara khas ingin mereka ubah mencakup: mengurangi kecemasan, menghilangkan fobi yang mengganggu fungsi mereka sebagai individu, mengurangi berat badan yang berlebihan, dan menghilangkan segala macam kecanduan (merokok, minum-minuman keras, dan obat bius). Keterampilan baru yang pada umumnya mereka ingin peroleh di antaranya adalah :
(1)   belajar bertanya secara jelas dan langsung mengenai apa yang mereka inginkan
(2)   memperoleh kebiasaan yang mengarah kepada kesantaian fisik dan psikologis
(3)   mampu mengatakan “tidak” tanpa perasaan bersalah
(4)   belajar bersifat tegas (assertive) tanpa menjadi agresif
(5)   mengembangkan metoda khusus untuk mengendalikan diri, seperti latihan secara  
      teratur, mengendalikan pola jadwal makan, dan menghilangkan tekanan psikologis
(6)   pemantauan diri mengenai perilaku atau kognisinya sendiri sebagai jalan untuk
           mendatangkan perubahan
(7)   belajar memberikan dan menerima balikan yang positif dan negatif
(8)   mampu mengenal dan menantang pola pikir yang merusakkan diri sendiri atau  
           pernyataan diri yang irasional
(9)   belajar tentang keterampilan sosial dan keterampilan berkomunikasi
(10)  mengembangkan strategi pemecahan masalah untuk menangani berbagai situasi yang
            dihadapi dalam kehidupan.

Dalam hal ini, tugas konselor kelompok adalah merinci dan memilih tujuan umum menjadi tujuan yang khusus, kongkrit, dan dapat diukur yang dapat ditelusuri dengan sistematik. Misalnya, apabiola seorang klien menyatakan bahwa dia ingin merasa lebih memadai dalam situasi-situasi sosial, maka konselor akan bertanya: “Dalam keadaan khusus yang bagaimana Anda merasa memadai? Dapatkah Anda memberikan contoh situasi seperti apa yang menyebabkan Anda merasa memadai? Dengan cara khusus manakah Anda ingin mengubah perilaku Anda?” Kelompok dapat menolong para anggotanya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk dijawab itu, sehingga perilaku yang diinginkan menjadi jelas dan kongkrit bagi klien maupun bagi anggota kelompok lainnya.
sumber
http://konselorsekolah.blogspot.com/2012/08/terapi-konseling-perilaku.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar